Ini adalah sinopsis novel karya Fita Chakra. Sinopsis ini saya buat karena pelajaran Bahasa Indonesia yaitu membuat sinopsis novel, dan novel yang saya pilih adalah Novel karya kak Fita Chakra dengan judul I Have A Dream yang artinya aku mempunyai sebuah mimpi. Silahkan menikmati sinopsis nya...
I HAVE A DREAM
“Ini bukan mimpi kan? Coba cubit
aku,” pinta Tari pada Mila. Mila mencubitnya keras. “Auw!” jerit Tari. “Hihihi.
Sekarang kamu tau, ini sungguhan. It’s not a dream, dear,” kata Mila. Sejak
Mila mengidolakan Justin Beiber, dia mendadak getol belajar bahasa Inggris. Katanya
sih buat jaga-jaga kalau nanti bertemu idolanya itu. “Sekolahmu benar-benar hebat
ya Mil,” ujar Tari kagum. Mila mendelik lucu. Pipinya yang bulat semakin
kelihatan tembem. “sekolahku? Ini sekolahmu juga sekarang,” kata Mila gemas. “Oh
iya ya. Aku lupa. Hahahah,” dia tertawa.
Tadi pagi Tari terbangun dengan
perasaan aneh. Campur aduk antara tegang, tak sabar, juga cemas. Dan sekarang,
dia berada disini. Rasanya seperti mimpi!. “Hebat!” kata Tari lagi. Mila
melipat kedua tangannya di dada sambil menatap Tari. “Kenapa?” tanya Tari tak
mengerti. “Tahu enggak, kamu sudah puluhan kali bilang hebat sejak kita turun dari mobil,” Mila mengingatkan. Pagi ini
Tari memang berangkat bersama Mila. Tari cekikikan.
“Siiip! Mau berkeliling dulu?” Mila
menawarkan. Tanpa menunggu jawaban, dia menarik tangan Tari lalu berceloteh
macam-macam. “Itu ruang computer, lalu yang itu ruang music. Kantin ada disana.
Sekolah ini punya beberapa kamar mandi, ada disetiap gedung. Di belakang gedung
ini ada asrama, tempat bagi murid-murid yang memilih tinggal di asrama. Oh iya
perpustakaan ada di ujung sana, kamu pasti akan suka berada diperpustakaan. Ada
ribuan buku yang menarik. Kamu bisa meminjamnya kapan pun,” jelas Mila. Mila
tahu Tari sangat suka membaca buku. Setiap kali Tari ke rumah Mila, dia akan
meminjam banyak buku cerita.
Tari melangkah pelan. Di sepanjang
koridor berjajar ruang-ruang kelas dengan jendela sebening air. Petugas
kebersihan sekolah ini pasti bekerja keras untuk membersihkan sekolah yang
luasnya lebih dari lima kali lipat luas sekolah lamanya. Dari jendela itu, Tari
dapat menaksir jumlahnya tak lebih dari 25 bangku untuk masing-masing kelas. Tidak
seperti kelasnya dulu yang penuh sesak karena dijejali dengan empat puluh orang
murid.
Mila melompat-lompat mengikuti irama
lagu yang dinyanyikannya. Sesekali dia berhenti untuk memungut kertas dan
plastic pembungkus makanan yang ditemuinya, lalu memasukkannya ke dalam tempat
sampah. Mila pecinta lingkungan, dia bisa mengomel panjang lebar jika menemukan
sampah berserakan. Dia rela membawa pulang botol air minum kemasam lalu
mengubahnya menjadi pot bunga cantik daripada harus membuangnya.
“Nah, ini ruang kelas pertama kita. Silahkan
masuk,” kata Mila dengan ceria. Sebentar lagi pelajaran akan dimulai. Sudah
pukul tujuh kurang sepuluh menit. “Kita duduk dimana?” tanya Tari. “Sini, duduk
di dekatku,” kata Mila menunjuk bangku dua meja deretan terdepan. “Mil enggak
apa-apa aku duduk disini? Jangan-jangan sudah ada yang menempati,” kata Tari
khawatir. “Tenang saja. Kamu boleh duduk dimana aja selama tempat itu belum ada
yang menempati. Disekolah ini menggunakan system moving class, jadi setiap pelajaran berganti, nanti kita pindah
kelas lain. Kamu takkan duduk ditempat itu seterusnya,” jelas Mila
Dalam hati kecilnya, Tari sebenarnya
takut bersekolah disana. Tari takut jika tak bias menyesuaikan diri. Takut jika
teman-teman memandangnya rendah karena ibunya hanyalah seorang penjuak
kue.Takut jika ada yang mengatainya…..aneh. Ya, Tari sadar bentuk tubuhnya
terlihat aneh. Entah mengapa, pundak kirinya terlihat lebih rendah dari pundak
kanannya, sehingga bentuk tubuhnya terlihat asimetris. Jika dia duduk menunduk,
tulang itu akan terlihat mencuat. Tulang bagian kiri dan kanan tak sama, tulang
punggungnya terlihat menonjol meskipun dia berusaha menegakkan badan. Karena
itulah Tari merasa rendah diri. Dia merasa menjadi itik yang buruk rupa, tak ada
cantiknya sama sekali. Untunglah jilbab yang dikenakannya bias sedikit menutupi
punggungnya.
“Selamat pagi,” sapa Mila pada
teman-temannya yang baru masuk kelas. Sebagian
besar menjawab sapaan itu sekedarnya. Seorang gadis dengan kacamata
bertengger di rambutnya masuk kedalam kelas. Terburu-buru, hingga menjatuhkan
tasnya. Bruuk! Seluruh isi tasnya berhamburan ke luar. Tari sempat melihat
sebuah BlackBerry yang dilihatnya disebuah iklan teve terlempar keluar. Gadis
itu buru-buru memasukkan BlackBerrynya ke dalam tas. “Felisha! Tumben datang
agak siang,” komentarnya. “Hai Mil, kacamataku hilang. Aku sudah mencarinya
kemana-mana. Makanya aku jalan kayak orang rabun. Jatuh semua, deh
barang-barangku,” keluhnya.
Mila dan Tari berpandangan, kemudian
serempak tertawa. “Memangnya di atas kepalamu itu apa?” tanya Mila cekikikan. “Waah,
rupanya disini kacamataku. Dasar pelupa,” dia berkata pada dirinya sendiri. “Eh,
ini siapa? Aku belum kenal ya?” tambah Felisha. “Ini Tari. Ingat? Aku petnah
menceritakannya padamu kan?” jelas Mila singkat. “Kenalkan ini Felisha, Ri.”. “Selamat
datang disekolah kami. Mila sudah banyak cerita tentang kamu. Senang sekali
punya teman baru,” cerocos Felisha.
Nadine segera turun dari mobil, lalu berjalan bak
peragawati. Nadine dijuluki teman-temannya sebagai “Little Miss Perfect”. Dia
juara kelas, cantik dan kaya. Nadine segera bergegas menuju kelas bahasa. Pelajaran
pertama bahasa Indonesia, pelajaran yang cukup sulit bagi Nadine, karena
dirumah dia terbiasa mencampur adukkan bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia. Saat
masuk ke dalam kelas, ruangan sudah hampir penuh. Nadine langsung menuju tempat
duduk favoritnya. Dari kejauhan, dia melihat seseorang yang menempati kursi
itu. Geram, Nadine menghampiri. Nadine belum pernah melihat dia. Murid baru,
batin Nadine. “Eh, siapa kamu? Kok duduk disini siih? Aku mau duduk. Minggir
sana, pindah di pojok belakang, tuh, masih kosong,” ujar Nadine galak. “Mmm…maaf,”
jawab Tari terbata-bata.
Teeet! Bel
masuk berbunyi. Bu Prana, guru bahasa Indonesia memasuki kelas. “Selamat pagi,
Anak-Anak!” sapa Bu Prana. Mata Bu Prana melihat Tari, murid baru yang belum
pernah dilihatnya. “Sini , perkenalkan dirimu, Nak,” kata Bu Prana. Tari
mengangguk.“Se…selamat pagi, Teman-Teman. Namaku Binar Mentari. Biasa dipanggil
Tari. Dulu aku bersekolah di SD Negeri 375. Senang sekali berkenalan dengan
kalian,” sapa Tari. Bu prana mempersilahkan duduk kembali. Ketika pelajaran Bu
Prana berlangsung, Tari berhasil membuat sebuah puisi yang diajarkan oleh Bu
Prana, dan Tari diminta untuk membacakannya kedepan kelas.
Aku punya sebuah mimpi
Kuingin seperti burung
yang terbang tinggi
Kuingin bersinar bagai
mentari
Walau ini tak mudah
sekali
Aku akan terbang
menjemput mimpi
Melintas di atas
pelangi
Kan kupersembahkan pada
ayahku nanti
Kebrjanji
pasti bias menggenggam mimpi warna-warni
“Bagus Tari. Puisimu indah sekali. Hebat! Jika dalam
waktu sepuluh menit saja kamu bisa membuat puisi seindah ini, Ibu yakin, jika
waktunya lebih lama, puisimu akan jauh lebih bagus,” puji Bu Prana. Tari
menggangguk sambil tersenyum dan tepuk tangan seisi kelas mengiringi Tari
kembali ketempat duduknya.
“Tari rindu Ayah,” gumam Tari. “Kita semua merindukannya,
Nduk,” bisik Eyang dari balik pintu. Sekilas terbayang di benak Tari suasana
kacau bertahun-tahun lalu. Waktu itu Ayah pergi. Tinggal Ibu, Eyang, dan Tari
yang masih berumur 4 tahun dirumah. Tempat tinggal mereka di pinggiran kota
Yogyakarta yang sepi tiba-tiba hiruk-pikuk. Gaduh.Semua orang berlarian kesana
kemari. Panik!. Ibu menggendong Tari sambil berlari-lari. Eyang yang diteriaki
berjalan tergopoh-gopoh mengikuti langkah Ibu dan menyambar apa saja yang masih
sempat diabawa. Tari menangis dalam gendongan Ibu. “Gempaaa!Gempaaa!”
orang-orang berteriak. Ibu dan Eyang membawa Tari ke penampungan. Beberapa hari
kemudia, mereka pindah dari Yogyakarta ke Jakarta, dirumah salah seorang
kerabat yang mau menampung mereka. Sejak saat itu, Tari tak pernah melihat
ayahnya lagi. Mereka pun tak tahu, Ayah selamat atau tidak.
Dia ingat ketika ibu menangis histeris setelah memriksa
tempat penampungan bagi korban gempa. Nama Ayah ada didalam daftar korban
meninggal. “Kita harus bias melanjutkan hidup. Meski tanpa Ayah,” kata Eyang. “Semoga, Eyang….semogaa,” sahut
Tari.
“Jadi, kamu mau ikut klub apa, Tari?” tanya Tari.
“Entahlah. Aku belum tahu, enaknya pilih apa ya?” Tari balik tanya. “Writing Club! Itu klub yang paling cocok
buat kamu,” jawab Mila cepat. “Please, deh, enggak usah pakai pikir-pikir lagi.
Kamu tuh suka banget nulis kan? Udah buruan isi formulirnya,” kata Mila.Dia
buru-buru mengisi formulir itu sebelum Mila berubah menjadi nenek-nenek
cerewet.Mila tertawa. Kalau tidak diomeli, Tari akan berpikir ribuan kali lagi.
“Apaan? Sosis?”. “Bukan sosis tau! Sko…li…osis,” bantah
Felisha. “Ya itu deh, skoli…osis. Penyakit apa itu? Aku bari dengar sekarang,”
tanya Mila. “Punggung yang berpunuk, sama seperti punggungku. Tulangnya
berkelok-kelok zig-zag. Rata-rata bertubuh pendek dengan pundak yang menonjol
aneh dan bentuk tulang berbentuk S. Sama sekali jauh dari cantik!” jelas Tari. “Aku
harus ikut terapi seminggu sekali, daan….pakai brace,” lanjut Tari pelan.
“brace itu
apa?” tanya Mila. “Brace seperti korset, namun lebih kaku dan ketat. Lebarnya
sekitar 30 cm, digunakan menutupi bawah dada sampai pinggang, melingkar pada
tubuh. Tubuhku akan kaku kalau mengenakannya, seperti robot” jelas Tari. “Tapi
kamu harus memakainya, agar tulangmu enggak makin bengkok,” Mila mengingatkan. “Aku
akan tampak aneh,” keluh Tari. “Tak apa-apa. Yang penting tulangmu enggak makin
parah bengkoknya. ya kan?” Mila memberi semangat. Tari hanya terdiam, dan ia
memikirkan jika harga brace itu mahal
bagaimana Tari harus membeli.
“Woii!
Ada pengumuman penting!” Nadine berteriak. “Apaan sih, heboh banget,” celetuk
Katrin. “Pengumuman apa?” Mila ingin tahu. Tari diam saja. Dia ingat kata-kata Eyang
beberapa hari lalu. Mau berbuat baik pada orang yang sudah menyakiti hati,
ternyata sangaaat…sulit. “Children
Writing Contest!” lanjut Nadine. “Kamu ikut Children Writing Contestkan Ri?” tanya Felisha. “Bisa enggak ya aku
nulis sebanyak itu? Punggungku semakin sering ngilu belakangan. Aku juga sering
sesak napas kalau kecapekan,” kata Tari. “Pasti bisa!” seru Mila. Hmm…tapi, dengan uang sebesar itu, aku bisa
beli brace, pikir Tari. Itu lebih dari cukup.
“Hari
ini Ibu akan memberikan formulir Children
Writing Contest bagi yang ingin mengikutinya,” kata Bu Prana. Bu Prana
memberikan selembar kertas pada Tari. “Tari, Ibu sudah lihat tulisan-tulisanmu di buku
catatanmu,” Kata Bu Prana pada Tari. Tari terkejut. “Jangan terkejut. Mila
menunjukkannya pada Ibu. Menurut ibu, tulisan-tulisanmu bagus. Ibu harap kamu
berusaha sebaik mungkin dalam lomba ini, ya” ujar Bu Prana lagi. “baik bu,
terima kasih,” jawab Tari senang.
“Pulang, Non? tanya Pak Sam, sopir keluarga Mila. “Iya
dong pak, memangnya mau nginep?” sahut Mila lucu. Tiba-tiba Tari ingat sesuatu.
Flashdisk! Dimana aku tadi menyimpannya?.
Dia mengaduk-aduk tas butut. “Cari apa?” tanya Mila. “Flashdisk nya tidak ada
Mil,” Tari mulai panik. “ketinggalan?” Tanya Mila. “Entahlah. Aku lupa sudah
kumasukkan ke tas atau belum. Jangan-jangan jatuh. Aduh bagaimana ini? Padahal
di flashdisk itu ada file untuk Children Writing Contest punyaku, apalagi itu
flashdisk milik Felisha,” Tari kebingungan. “Kita balik kesekolah ya? Kita cari
dulu di lab computer. Siapa tahu ketinggalan di sana. Pak bisa balik lagi
kesekolah,” Mila mengusulkan. “Macet Non,” Pak Sam menjelaskan.
Tari mendesah, kasihan Pak Sam kalau harus putar balik
hanya untuk mengambil flashdisk yang ketinggalan. Gara-gara aku semua jadi repot!. “Besok aja, deh Mil. Bisa-bisa
kita kemalaman sampai dirumah. Lagipula, Pak Sam nanti juga pulang terlambat,”
kata Tari. “Nanti kalau hilang gimana? Tulisanmu sudah hamper selesai lho.
Sayang kan?” Mila menyesalkan. “Enggak akan hilang. Siapa sih yang mau ambil
flashdisk itu? Aku kira di Marigold semua murid bias beli lebih dari satu,”
Tari bercanda. “Benar juga ya. Kita berdoa saja mudah-mudahan enggak hilang,”
kata Mila. “Amiiin,” sahut Tari. Duh,
kalau sampai hilang, sia-sia deh semua perjuanganku, pikirnya.
Pagi-pagi sekali, Tari sudah sampai di sekolah. “flash
disk yang kemarin kamu pinjamkan ketinggalan Fel. Aku mau cari di lab computer,
ikut yuk,” ujar Tari pada Felisha. “aduuh, kok enggak ada ya fel,” keluh Tari.
“Kamu yakin ketinggalan disini?” tanya Felisha. “yakin deh, maaf ya fel aku
menghilangkan flashdiskmu. Aku ganti deh,” ujar Tari. “enggak apa-apa. Yang
penting tulisanmu yang kemaren harus diselamatkan, kamu simpan dimana selain di
flashdisk ku?” tanya Felisha. “Aku lupa enggak menyimpannya di computer ini. Gimana
ya Fel?” Tari balik tanya. “Jangan sampai flashdisk itu hilang Tari. Kalau
sampai hilang, tulisanmu bagaimana nanti,” kata Mila.
“Sudah tidak perlu disesali, nanti aku cari
filenya di laptopku, kan 2 hari lalu kamu mengetik di laptopku,” Felisha
berpikir cepat. “tapi kan file itu belum termasuk yang kuketik kemarin,” sesal
Tari lagi. “jangan khawatir, aku bakal membantumu mengetiknya,” jawab Felisha. “Tapi
aku tidak enak padamu Fel,” kata Tari. “Sudah, tidak apa. Nanti kita cari lagi
ya flashdisk nya,” kata Felisha. “Bagaimana kalau sampai flashdisk itu diambil
oleh anak-anak yang ikut lomba ini, dan mereka mencontek tulisan Tari,” kata
Mila. “kita berdoa saja semoga tidak terjadi yang aneh-aneh ya,” kata Tari.
Kerumunan murid-murid Marigold semakin menyemut. Sore
itu, mereka akan mengadakan kegiatan kiddy camp di sekolah. Tari satu kelompok
dengan Adinda, Katrin, Mila, Nadine, Quensy, dan Yasmin. Tari dan Mila tidak
satu kelompok dengan Felisha, namun mereka harus besar hati menerima pilihan
dari Pak Lutfi walau sebenarnya berat. “Woii, kumpul sini!” teriak Nadine pada
Tari dan Mila. “Ayo kita main dulu, mumpung acaranya belum dimulai,” ajak
Quensy. “Main apaan?” tanya Katrin. “kita enggak semuanya berasal dari kelas
yang sama kan? Biar kita saling kenal, kita bikin permainan ‘Ceritakan
Rahasiamu’ kata pepatah tak kenal maka
tak sayang. Kekompakan kelompok juga dinilai lho. Makanya kita harus kenal
dulu satu sama lain agar kelompok kita kompak,’ jelas Quensy. “Ceritakan rahasia
terbesarmu. Harus jujur. Meskipun itu memalukan tapi tidak boleh ada yang
menertawakan. Ingat aturannya ya,” tambah Quensy.
“Mila dulu yaa. Nanti kamu boleh tunjuk giliran
selanjutnya,” sambung Quensy. “Jangan ketawa ya. Sebenarnya aku takut sama
cicak. Aku takut karena waktu kecil pernah melihat seorang teman menyiksa
cicak. Dia menangkap cicak dan memepetnya didinding lau membuat…kulitnya
terkelupas. Tapi cicak itu tidak mati, dia tetap hidup,” Mila mengusap air
mata. “Haha, sekarang aku boleh menunjuk orang kan? Aku mau Nadine yang bicara
sekarang,” tambah Mila setelah menangis mengingat masa lalunya.
“Kalian janji enggak akan tertawa?” tanya Nadine. Semua
mengangguk setuju. “Rahasiaku…kadang-kadang, aku enggak suka kalau orang-orang menganggapku
bisa melakukan apa pun. Oke, aku emang suka dipuji dan dianggap sempurna. Tapi,
ini membuatku takut berbuat salah. Aku merasa orang-orang menertawaiku dan
menganggapku rendah jika aku berbuat kesalahan. Sementara jika orang lain
berbuat kesalahann, tak ada yang menertawakan,” katanya kesal. “Sebenarnya aku
juga takut kalau mengecewakan mama. Mama selalu membandingkanku dengan orang
lain. Karena itu, aku harus selalu jadi yang terpandai, terbaik, tercantik, dan
sempurna,” tambah Nadine. Suasana hening. Jadi begitu? Ternyata Miss Perfect tak seenak yang dibayangkan
semua orang.
Pelan-pelan Tari dan Mila mengerti tingkah Nadine selama
ini. Nadine, si serba sempurna tak bahagia. Menjadi sempurna membuatnya
terbebani. Karena itulah dia tak suka kalau nilai-nilai Tari lebih bagus. Dia
tak suka melihat Tari dipuji Guru-gurunya. Dia melihat Tari sebagai ancaman
terbesarnya. Betapa menakutkan hidup Nadine! Dia melakukan sesuatu karena
terpaksa. Bukan karena dia suka melakukannya.
“Lihat Ri, ada 15 orang murid yang mengirimkan
cerpennya,” lapor Felisha. Syukurlah namanya sudah tercantum dalam daftar. Tari
merasa lega. Paling tidak, dia sudah tercantum dalam daftar seleksi sekolah.
Beberapa nama teman-temannya di Writing
Club, seperti Nadine dan Quensy. “Bu Prana bilang, hanya satu orang murid
yang dipilih untuk mewakili sekolah dan minggu depan diumumkan,” jelas Tari
pada Felisha. “Sebentar, aku baca lanjutannya dulu Ri. Lihat, punya Nadine
temanya sama kayak kamu, hanya judulnya yang berbeda,” kata Felisha. Kok bisa yaa? Pikir Tari. Hmm…Tari
berharap, mudah-mudahan guru-guru yang menyeleksi jatuh cinta pada cerpennya.
Hari masih pagi, tapi Nadine sudah sampai ke sekolah.
Saking gugupnya, ia tak bisa tidur semalaman. Akibatnya pagi ini ia datang
kesekolah dengan mata sembab dan menguap terus menerus. “Deg-degan ya? Sama aku
juga” kata Tari pada Nadine.Nadine diam saja. “Sabar… sebentar lagi kok,”
tambah Tari. Krieeet! Bu Prana keluar dari dalam kantor. Nadine langsung
berdiri. “Masuklah,” kata Bu Prana pada semua murid yang mengikuti seleksi ini.
“Ibu sungguh bangga pada hasil tulisan kalian. Sejujurnya, amat sulit memilih
salah satu di antara kalian. Tetapi Ibu harus memilih salah satu diantara
kalian,” ujar Bu Prana.
“Nah, Ibu yakin kalian sudah tak sabar. Baiklah, ibu akan
umumkan. Berdasarkan hasil wawancara, sekolah memutuskan untuk mengirim… Tari
mewakili Marigold Girl School,” ujar Bu Prana hati-hati. “Benar Bu?” Tari tak
percaya. Bu Prana mengangguk tersenyum. “Asyiikk! Aku lolos!” teriak Tari
begitu melihat Mila dan Felisha. “Kereeeen!” ujar mereka berdua serempak pada
Tari.
Tari melongok diantara kerumunan yang mengelilinginya,
mencari-cari Nadine yang pergi tanpa disadarinya. Dari kejauhan Tari melihat
Nadine melangkah dengan kepala tertunduk. “Nadine!” teriak Tari. Nadine
menengok sejenak lalu berlari tanpa memedulikan Tari. Rupanya, Nadine menuju
pohon besar di lapangan. Nadine berhenti sambil menangis. “Nad…,” panggil Tari
takut-takut. “Pergi! Aku benci kamu!” teriak Nadine. “Kenapa sih kamu kesini? Mau
mengolok-olok aku ya? Karena kamu yang lolos, bukan aku?” tanya Nadine lagi. “Kamu
marah sama aku?” Tari balik tanya. “Aku..ya aku kesal sama kamu! Dan pada
diriku sendiri! Aku kesal pada semua orang. Aku iri padamu,” Nadine mengaku.
“Iri sama aku? Kamu kan cantik, enggak bengkok kayak aku.
Keluargamu kaya, punya segalanya. Kamu juga punya mama papa. Aku cuma punya
Ibu,” kata Tari. “Kamu enggak tau punya mama kayak mamaku. Aku takut sekali.
Mama pasti akan menghukumku, lalu memukulku dan membandingkan aku dengan
Amabel,” keluh Nadine. “Kata Eyang, menang kalah itu enggak masalah,” hibur
Tari. Tari ingat kata-kata Eyang beberapa hari lalu padanya. “lagian cerpenmu
bagus kok,” kata Tari lagi.
Nadine mengangkat wajahnya dan menatap Tari. “Kamu kok
baik sama aku? Padahal kan aku sudah jahat sama kamu,” tanya Nadine ragu. Tari
tertawa, Tari mulai belajar, berdamai dengan kenyataan membuatnya lebih santai
ketimbang memikirkan hal-hal yang menyakitkan. Setiap kali hatinya sakit, ia teringat
dengan kata-kata Mila dulu. Pikirkan
hal-hal yang baik dan menyenangkan, maka dia akan baik-baik saja. Resep
Mila manjur.
Nadine memandang takjub. Gadis ini benar-benar hebat!
Sudah dicela seperti itu, dipermalukan didepan banyak orang, tapi masih mau
bersikap baik padanya. Nadine jadi malu pada dirinya sendiri. “Aku enggak
peduli tubuhku cacat sekali pun, selama masih banyak orang-orang yang
menyayangiku,” kata Tari. “Kamu beruntung. Tubuhku memang sempurna, tapi
sayang, mama enggak menyayangiku. Mama hanya sayang Amabel anaknya yang paling
hebat. Bukan aku,” kata Nadine sedih. “Tentu saja dia sayang kamu. Mana ada Ibu
yang enggak sayang sama anaknya,” hibur Tari. Nadine mulai tenang. “Yuk kita
masuk,” ajak Tari. “Sebentar.Hmm… maukah kamu berjanji? Jangan katakan apa pun mengenai
pembicaraan kita ini pada teman-teman,” kata Nadine serius. “Oke,” Tari
mengangguk. Hari ini Tari belajar satu hal. Sesempurna apa pun hidup seseorang
tampaknya, belum tentu dia bahagia.
“Ngomong-ngomong, masih ingat flashdisk ku yang hilang
itu?” tanya Felisha. “Kenapa memangnya?” tanya Mila. “Tahu tidak, aku lihat
Nadine bawa flashdisk seperti itu. Mirip banget dengan flashdisk milikku. Warna
kuning, kecil bentuknya. Waktu aku melewati dia kemarin, dia sedang beres-beres.
Dikotak pensilnya, aku lihat flashdisk itu,” jelas Felisha. “Ah, flashdisk
seperti itu banyak yang punya kan? Siapa tahu Nadine punya yang sama persis
dengan punyamu,” Tari berkata. “Iya sih.Tapi miriiip… banget. Ada bekas
selotipnya di flashdisk itu. Aku memang pernah menempel kertas bertuliskan
namaku disitu dengan selotip, tapi lalu kulepas selotipnya karena mengelupas,”
jelas Felisha lagi. “Hmm… sebenernya aku curiga… aku curiga Nadine yang
mencontek tulisanmu untuk lomba kemarin,” tambah Felisha.
“Tapi sudahlah, enggak penting. Hanya flashdik ini.
Lagipua, Tari sudah lolos. Tinggal menunggu seleksi tingkat nasional kan Ri?”
kata Mila. Tari hanya mengangguk. “Iya, biarin ajalah,” kata Felisha. Tiba-tiba
Tari ingat Nadine dan pembicaraan mereka beberapa hari yang lalu. Nadine gadis
cantik dan kayaa. Apakah dia yang megambil fashdisk Felisha? Dan mencontek
tulisan Tari? Hanya karena dia ingin menang lomba? Rasanya Tari sulit
memepercayai kemungkinan itu.
Nadine menghempaskan tubuhnya di kasur. “Aduuuh!”
pekiknya. Nadine mengambil benda itu, dan ternyata flashdisk, jadi selama ini
Nadine yang membawa flashdisk Felisha dan mencontek tulisan Tari. Berhari-hari
lamanya dia dihantui perasaan bersalah. Bahkan sampai bermimpi buruk memikirkan
kelakuan jeleknya. Kalaupun dia menang, belum tentu dia bahagia dengan
hasilnya. Tulisan itu bukan karyanya sendiri. Sekarang, Tari yang lolos ke
tingkat Nasional. Lalu buat apa dia menyembunyikan flashdisk itu? Dan akhirnya
Nadine memutuskan untuk pergi ke rumah Tari sore ini. Dia ingin mengembalikan
flashdisk Felisha yang telah ia ambil. Semoga belum terlambat, pikirnya.
Nadine akhirnya sampai dirumah Tari. “Nadine! Ada apa?”
Tari heran melihat Nadine sampai dirumahnya. “Ng…eh… enggak apa-apa kan aku
kesini?” tanya Nadine gugup. “Boleh kok kamu main kesini. Maaf aku enggak
nyangka aja kamu bakal main kesini,” jawab Tari. “Ri…sebenarnya, aku kemari mau
bilang sesuatu. Ini…,” kata Nadine sambil menyodorkan flasdisk warna kuning.
“Kok, flashdisk ini ada padamu?” Tanya Tari heran. “Karena, aku yang
mengambilnya Ri. Aku mencontek tulisanmu yang ada pada flashdisk ini. Itulah
sebabnya hasil tulisanku mirip denganmu. Aku pikir kalau aku menang, mama pasti
akan senang. Nyatanya aku enggak menang, dan aku merasa sangat bersalah karena
tidak jujur,” jelas Nadine terbata-bata.
“Enggak apa-apa kok Nadine,” jawab Tari. Nadine memandang
Tari tak percaya. Sungguh baik hati Tari,
batinnya. Diam-diam Nadine menyesal diri mengapa tak berteman dengan Tari sejak
dulu. Kedua kelingking mereka terpaut menjadi satu, tanda persahabatan dimulai.
Nadine merasa hatinya mulai leleh seperti lilin. Terasa hangat di dada. Baru
kali ini dia merasakan perasaan itu.
Hari ini adalah hari besar untuk Tari. Mereka diundang ke
pameran buku terbesar di Jakarta untuk mengahadiri penyerahan hadiah Children Wrtiting Contest. Itu artinya,
tulisan Tari masuk nominasi pemenang lomba. “Tari duduk sini!” teriak Mila dari
jauh. “Silahkan duduk Eyang. Ibu juga. Disebelah Mila masih kosong,” kata
Felisha. “Makasih yan Nak,” jawab Ibu.
“Lihat tuh Nadine dan keluarganya kesini. Amabel, kakak Nadine masuk nominasi
tingkat SMP,” jelas Mila. Nadine, Amabel dan mamanya melintas beberapa meter
didepan mereka. Pantas saja wajah Nadine
cantik, mamanya saja seperti model, pikir Tari. Mereka bertiga tampak
serupa, seperti tiga orang kakak beradik. Kehadiran mereka menarik perhatian
orang-orang yang mereka lewati.
Ketika melihat Tari, Nadine sempat melambaikan tangannya
sambil tersenyum. “Kok bisa sih Ri? Bertahun-tahun di Marigold, enggak pernah
lho sekali pun aku lihat Nadine senyum ramah seperti itu. Baru empat bulan kamu
datang,” kata Felisha. Mereka pun tertawa.
“Oke, sekarang tibalah saat yang dinanti-nantikan, yaitu
pengumuman pemenang Children Writing
Contest 2011!” seru pembawa acara dari atas panggung. Pembawa acara
memanggil juara harapan satu sampai juara haapan tiga untuk naik keatas
panggung. “Jangan kecewa. Siapa tahu
kamu juara satu,” bisik Ibu. Hilang sudah harapannya untuk menjadi juara dan
membeli brace dari hadiah tersebut.
“Yaah…aku kekamar mandi dulu deh. Kayaknya bukan aku kok,” ujar Tari putus asa.
“Dan juara pertama jatauh pada murid Marigold Elementary Girls School… bernama
Binar Mentari!” seru pembawa acara. “Ayo, nduk naik keatas panggung. Terima
pialamu,” kata Eyang.
Tari melangkah menuju panggung itu. Saat melewati Nadine beserta kakak dan mamanya, dia melihat Nadine mengacungkan kedua jempol. Argoto Hamase sebagai salah satu juri ikut menyerahkan hadiah dan piala. “Selamat ya Nak. Teruslah menulis, jangan pernah berhenti. Aku yakin kamu akan jadi penulis hebat,” katanya pada Tari. Dalam jarak dekat, Argoto Hamase terlihat mirip dengan Ayah. Namun itu tidak mungkin, pikir Tari.
Tari menuruni panggung dengan perasaan meluap-luap.
Orang-orang bergantian ingin bersalaman dengan Tari. “Lihat dibelakangmu Tari,”
kata Ibu. Tari membalikan badan dan ternyata Argoto Hamase sudah dibelakangnya.
“Kalau tidak hujan, tanaman tidak akan tumbuh dan berbunga. Kalau tidak hujan,
tidak akan muncul pelangi. Begitu kan?” kata Tari mengutip kalimat dalam buku
Argoto Hamase. “Kamu ingat benar kalimat itu. Kalau butuh bantuanku dalam hal
menulis, hubungi aku ya,” katanya sambil menyodorkan kartu nama pada Tari.
“Tentu. Terima kasih banyak pak,” ucap
Tari.
Hari ini Tari bahagia sekali. Menyenangkan rasanya
dikelilingi orang-orang yang menyayanginya. Dia bahkan lupa akan sakit
punggungnya. Dia lupa dengan bentuk tubuhnya yang aneh. Rasanya tak masalah
lagi bagaiamapun rupa atau bentuk tubuhnya, asalkan ada orang-orang yang
menyayanginya.
Unsur
Instrinsik
Tema : Perjuangan Tari dalam meraih
mimpi
Judul
: I HAVE A DREAM
Tokoh : 1. Tari
2. Nadine
3. Mila
4.
Felisha
5.
Ibu
6.
Eyang
Watak :
1. Tari : baik, mudah
tersinggung bila diejek, sedih, minder
2. Nadine :
egois, ingin selalu sempurna, jutek
3. Mila :
pecinta lingkungan, sahabat baik Tari, perasa dan sangat marah
4.
Felisha : maniak teknologi, sahabat
baik Tari, selalu tampil wangi dan rapi
5.
Ibu : baik, perhatian, selalu
mengerti Tari
6.
Eyang : baik, selalu memperhatikan
Tari
Alur : Maju mundur
Latar : 1. Waktu : Pagi hari
2. tempat :
Sekolah
3. suasana :
Menyenangkan, Menyedihkan, dan Mengharukan
Konflik : 1. Nadine selalu menjegal langkah
Tari
2. Ketika diadakan
seleksi lomba, Nadine mengambil flashdisk milik Felisha
3. Mengatasi rasa malu atas penyakit kelainan
tulang belakangnya
4. Berjuang keras memnangkan kontes
Amanat : 1. Kita harus bersyukur dengan apa
yang kita miliki
2. Keberhasilan dapat dicapai jika kita mau
bekerja keras
3. Kita harus berjuang keras untuk meraih
mimpi-mimpi kita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar