CERPEN
Kenangan Manis Saat Lebaran
$
$ $ $
$ $ $
$ $ $
$ $ $
$ $ $
$ $ $
$
Karya : Shabrina Nabilah
Kelas : IX G
SMP Negeri 2 Surabaya
KENANGAN MANIS SAAT LEBARAN
Karya : Shabrina Nabilah
Ketika libur Lebaran, aku pergi ke desa. Orang-orang terbiasa
menyebutnya dengan kata mudik, dan yang pasti aku pergi bersama ayah, ibu,
kakak, dan adik ku. Aku berangkat sekitar pukul 6 pagi, karena macet di tengah
jalan akhirnya kami sampai di desa malam, sekitar pukul 8 malam. Sewaktu
diperjalanan, aku senang sekali sampai aku tertidur. Ayah dan ibu yang melihat
tingkahku, hanya tersenyum. Tiba-tiba aku terbangun ketika mobilku berhenti,
“Ada apa ayah, kok mobilnya berhenti?’ tanyaku. “Jalanannya macet sayang”,
jawab ayah. Aku hanya terdiam mendengar ucapan ayah tadi.
“Kamu tidur lagi saja,
karena ini masih jauh dan lama”, kata ibu.
“Aku tidak mengantuk bu”,
jawabku.
“Kalau begitu, kamu main saja sama adik mu. Kebetulan ibu bawa
boneka buat kalian” tambah ibu sambil memberikan boneka padaku.
Adik ku memang
perempuan, maka dari itu ibu selalu membawakan kami boneka ketika kami akan
pergi jauh. Kalau kakakku laki-laki. Mainan kesukaannya adalah mobil, seperti
anak laki-laki pada umumnya. Tetapi kakakku jarang banget bawa mainan kalau
pergi jauh seperti ini, karena kakakku sudah besar, jadi bisa mengatasi rasa
bosannya sendiri tanpa harus membawa mainan jika pergi.
Lama-lama aku
merasa makin bosan, ditambah dengan laju mobil yang sedari tadi hanya berjalan
sedikit demi sedikit. Mungkin jika dilombakan dengan siput, pasti siput deh
yang menang dibanding dengan mobilku yang jalannya lambat sekali. Memang setiap
tahun jika aku pergi ke desa, selalu saja bertemu dengan macet. Dan ketika
macet, aku selalu bosan banget di mobil. Apalagi aku selalu meminta ayah untuk
balik ke rumah dari pada harus macet dijalan. Tetapi ayah selalu mempunyai
strategi untuk menghadapi tingkah dan permintaanku yang satu ini, ya ayahku
adalah ayah yang terhebat yang pernah aku miliki.
Karena aku asyik bermain dengan
adikku, akhirnya rasa bosan itu hilang dan tak terasa, macet telah terlewati.
Di sepanjang jalan aku bernyanyi-nyanyi bersama adikku, sesekali aku
menari-nari dengan adikku. Ayah dan ibuku yang sedari tadi duduk di kursi
depan, tertawa geli melihat tingkah dua putrinya itu. Karena terasa lelah
sedari tadi menyanyi, tanpa dirasa aku dan adikku kembali terlelap dengan
berselimut mimpi. Kakakku yang hanya menatap handphone nya juga ikut tertidur.
Suasana di dalam mobil terasa hening, hanya terdengar suara ibu dan ayah yang
tengah berbincang-bincang.
Karena kami
terjebak macet lagi, akhirnya ayah memilih jalan alternative yaitu melewati
sawah-sawah dan pedesaan. Ibu membangunkan kami yang tengah tertidur,
“Anak-anak ayo bangun, lihat di sekeliling kalian banyak sawah membentang
luas”, seru ibu. Kami langsung terbangun, dan melihat sawah-sawah yang
terbentang luas.
"Subhanallah, bagus sekali pemandangannya”, ucapku
“Ayah, bolehkah kami foto-foto sebentar? Objeknya sangat bagus
ayah”, minta kakak
“Tentu boleh dong sayang”, sambut ayah
Lalu ayah segera
memberhentikan mobil, dan kami turun untuk berfoto-foto. Kakak ku memang hobi
memotret, bahkan ia mengajariku untuk bagaimana cara menjadi fotografer yang
professional. Dan kemaren ketika kakak ku berulang tahun, ayah memberikan
hadiah sebuah kamera yang sangat kakak inginkan sejak dulu.
Setelah sekitar 15
menit kami turun ke sawah, akhirnya kami melanjutkan perjalanan lagi menyusuri
sawah-sawah, melihat para petani sedang menanam padi, dan banyak kerbau juga
yang ikut membantu pak tani membajak sawah. “Ayah, aku ingin bermain di sawah
lagi”, aku merengek pada ayah. “Sabar ya sayang, besok pasti kamu akan diajak paman
ke sawah bersama Tini”, ucap ayah. Aku hanya mengangguk mendengar ucapan ayah.
Memang setiap aku pergi ke desa, Paman Budi selalu mengajak ku pergi ke sawah
milik nenek bersama Tini. Paman Budi adalah adik dari ayah ku, sedangkan Tini ia sepupuku, putri dari
Paman Budi.
“Ayah, masih jauhkah?” tanyaku pada ayah
“Masih jauh sayang” jawab ayah
“Tapi ayah, perutku terasa lapar” rengek ku lagi
“Lebih baik kita makan dulu ya, karena ini sudah waktunya untuk
makan siang. Sekalian kita mampir ke masjid untuk Sholat Dhuhur” jawab ayah
Akhirnya ayah
memarkirkan mobilnya, dan kita segera masuk ke salah satu Restoran. Setelah
kita memesan makanan, tak lama makanan yang kita pesan datang. Sebelum makan,
ayah selalu memimpin do’a. Setelah makan, kita juga berdo’a dan dilanjutkan
untuk sholat Dhuhur. Kemudian kami lanjutkan perjalanan menuju desa.
Pukul 8 malam,
kami sampai di desa. Kami disambut oleh nenek, paman, bibi, dan sepupu ku Tini
dan Biyan. Kakek ku sudah lama meninggal, bahkan sebelum aku lahir kakek sudah
meninggal. Jadi aku tidak tahu figure seorang kakek seperti apa. Maka dari itu,
nenek tinggal bersama Paman Budi agar nenek tidak sendirian dan kesepian.
Ternyata nenek
sedari tadi sudah menunggu kami. Saat aku turun dari mobil, Tini langsung
memeluk ku. Umur ku dengan Tini sama, kalau umur Biyan sama dengan umur adik
ku. Setelah itu aku langsung memeluk nenek dan meminta maaf ke nenek karena
sekarang lebaran. Tak lupa juga aku berjabat tangan dan minta maaf kepada Paman
Budi dan Bibi Ulam.
“Ayah, aku boleh kan mala mini tidur dengan Tini? Aku kangen sekali
dengannya. Boleh ya ayah”, pinta ku pada ayah
“Tentu boleh dong sayang”, jawab ayah
“Makasih ayah, ayah baik banget deh”
“Iya sayang, sama-sama. Kamu paling bisa deh kalau merayu ayah”,
goda ayah
“Heheheh”, aku tertawa kecil dan yang lain pun ikut tertawa
“Nanti Kak Fahmi
tidur sendirian di kamar paling belakang, berani kan?”, tanya Bibi Ulam pada
kakak ku. “Tentu berani dong bi, Fahmi kan sudah SMA”, jawab kakak ku. “Ya
sudah, ayo bibi antar ke kamar kamu. Nanti kamarnya Biyan untuk ayah, ibu sama
adikmu. Biyan tidur sama bibi dan paman saja”, tambah bibi. “Oke bi, terima
kasih ya bibi ulam”, jawab ibu
Setelah selesai
mandi, kami dipersilahkan makan malam bersama keluarga besar di ruang makan.
Sudah lama sekali aku tidak menikmati suasana makan malam seperti ini, karena
hanya setiap satu tahun sekali kami ke desa mengunjungi nenek dan yang pasti
keluarga dari Paman Budi.
Keesokan harinya
aku bangun untuk sholat Shubuh, setelah sholat aku keluar dan menuju taman
depan rumah. Disana banyak bunga mawar dan bunga matahari. “Subhanallah, bagus
banget taman nya, di rumahku tidak ada bunga seperti ini”, seruku sambil
memegang bunga matahari. Tiba-tiba Tini muncul dari belakang “Aku yang setiap
hari merawatnya bersama ibu dan nenek”, jelas Tini. “Bagaimana kamu merawatnya
tini?”, tanyaku. “Aku selalu menyiraminya setiap hari dan memberi pupuk setiap
waktu yang ditentukan”, Tini menjelaskan padaku. “Oya, mau tidak kamu nanti aku
ajak ke sawah nya nenek. Kita bermain-main disana”, tanya Tini. “Tentu aku mau
dong Tini, nanti aku ajak Kak Fahmi juga. Biar Biyan dan Faridah main dirumah
sama nenek ya”, jawab ku.
Ketika di sawah,
kami senang sekali. Berlari kesana-kemari dan membantu Paman Budi menanam padi.
Kalau Kak Fahmi sibuk dengan kameranya, sesekali tingkah ku dan Tini dipotret
sama Kak Fahmi. Hari menjelang siang, kami sudah lelah karena sedari tadi
bermain. Paman Budi pun juga mengajak kami untuk pulang, akhirnya kami pun
pulang. Sesampainya di rumah, ibu dan ayah menyambutku dengan senang. “Bagaimana
sayang, senang tidak?”, tanya ayah. “Tentu senang dong ayah”, jawab ku.
Setelah seminggu
aku berada didesa, aku harus pulang ke Surabaya karena 3 hari lagi aku sudah
harus masuk sekolah. Sehari sebelum itu, aku sempatkan untuk pergi ke tempat
oleh-oleh khas daerah sana. Aku ingin membelikan oleh-oleh untuk teman dan
sahabat-sahabat ku di Surabaya.
Keesokan harinya,
aku harus pulang ke Surabaya. Rasa sedih pun datang, karena akan berpisah
dengan nenek, paman, bibi, Biyan dan Tini. Ketika aku berpamitan, Tini
menangis. “Sudahlah Tini, Insyaallah kita akan ketemu lagi. Aku akan minta
kepada ayah, jika libur sekolah nanti, aku akan mengajak mu dan Biyan ke
Surabaya. Boleh kan ayah?”, pintaku pada ayah. “Tentu boleh dong sayang”, ucap
ayah.
“Makasih banyak ya pakdhe dan budhe”, ucap Tini
“Iya sama-sama Tini, rumah kami selalu terbuka untuk kalian”, jawab
ayah dan ibu bersama
Setelah aku
berpamitan pada nenek dan yang lain, aku memeluk Tini erat sebelum aku masuk ke
dalam mobil. “Selamat tinggal Tini”, ucapku pada Tini. “Selamat tinggal juga”,
jawab Tini lirih. Kemudian aku melepaskan pelukan itu, dan aku masuk mobil. Mobilku
mulai berjalan dan meninggalkan rumah nenek.
“Daaadaaa nenek… Daaadaaa Tini… Daaaadaaa semuaaa…”. teriakku dari
dalam mobil
Mereka hanya membalas dengan lambaian tangan. Di perjalanan, aku
terdiam dan berpikir aku bersyukur mempunyai keluarga yang sayang banget sama
aku. Ayah, ibu, kakak, adik, dan semua sangat sayang padaku. Aku merasa kasihan
dengan teman-temanku yang mungkin keluarga mereka tidak lengkap, seperti
mereka-mereka yang tinggal di panti asuhan dan mereka tidak memiliki ayah dan
ibu. Alhamdulillah Ya Allah, engkau masih memberiku kenikmatan yang tidak bisa
dihitung kenikmatannya. Ayah dan ibu yang sedari tadi melihatku, hanya
tersenyum. Dan tak henti-hentinya aku ucapkan Tahmid dalam hati sehingga aku
terlelap dalam mimpi yang indah dari Allah SWT.